Minggu, 13 Mei 2012

#Mayday

Vox populi vox dei, suara rakyat adalah suara tuhan

Miris. Adalah kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan negara indonesia. Bencana alam, kerusuhan, naiknya harga pangan, serta pelanggaran terhadap hak asasi manusia adalah berita yang sering mewarnai layar kaca dan menjadi tajuk utama di berbagai surat kabar. Negara sudah tidak lagi melindungi rakyatnya. Dari sini, timbul pertanyaan tentang siapakah negara itu? Mengapa ia yang harus melindungi rakyatnya.


Dalam Konvensi Montevideo 1933, disebutkan bahwa syarat didirikannya suatu negara harus memenuhi beberapa unsur. Unsur-unsur yang dimaksud dalam konvensi tersebut adalah rakyat, wilayah yang permanen, penguasa yang berdaulat, kesanggupan berhubungan dengan negara lain, serta pengakuan (deklaratif) dari negara lain. Merujuk pada konvensi Montevideo, dalam syarat pertama, konvensi tersebut menyebutkan Rakyat. Unsur esensial dari suatu negara adalah rakyat. Tanpa adanya rakyat, tidak akan ada suatu negara yang berdaulat. Dalam teori perjanjian masyarakat, yang disampaikan oleh Thomas Hobbes, JJ. Rosseau, dan john Locke, terbentuknya negara adalah hasil dari perjanjian dari orang-orang yang hidup bebas dan tidak terikat kepada apapun dan saling patuh agar kepentingan bersama tetap dapat terakomodir. Perjanjian tersebut dibuat juga untuk menghindari perbuatan saling menyerang antar manusia karena pada hakikatnya manusia adalah srigala bagi manusia yang lain (Homo Homini Lupus). Dengan kata lain, suatu negara merupakan penjelmaan dari rakyat yang bersatu dan berdaulat untuk memenuhi kepentingan mereka tanpa mengesampingkan kepentingan lainnya. Dari kumpulan tersebut, kemudian muncul suatu negara, yang merupakan kesatuan dari semuanya, rakyat, pemerintahan, dan wilayah.

Kemudian timbul  pertanyaan baru, bagaimana efektivitas negara dalam melakukan perlindungan terhadap rakyatnya? Apakah dalam suatu negara, rakyatnya dapat dikorbankan untuk memenuhi kebutuhan sebagian rakyatnya lagi dengan kata lain mengorbankan suatu pihak? Pertanyaan yang sama kemudian juga akan muncul ketika rakyat tidak dapat memberikan sumbangsihnya kepada negara. Negara tidak akan berdiri tanpa adanya suatu kesatuan didalam rakyatnya. Hal ini tidak jauh berbeda dengan pertanyaan “siapakah yang ada pertama kali, telur atau ayam?”.


Dalam kasus perlindungan terhadap rakyatnya, negara juga masih sering mengesampingkan suatu kaum. Contohnya adalah kaum buruh atau kaum pekerja. Mengesampingkan hingga membuatnya minor padahal kaum tersebut adalah mayor, merupakan tindakan yang sering dilakukan oleh negara khususnya terhadap kaum buruh.

Buruh sering dipandang sebelah mata oleh sebagian orang. Perlindungan terhadap buruh juga masih sering dikesampingkan. Jaminan sosial dan tenaga kerja dinilai kurang dapat membantu kesejahteraan buruh dan kaum pekerja. Masalah-masalah klasik masih dihadapi oleh kaum pekerja, seperti penunggakan pembayaran upah, jaminan kesehatan yang kurang, serta fasilitas pekerjaan yang kurang. Sudah menjadi rahasia umum bahwa undang undang ketenagakerjaan Indonesia, Undang Undang nomor 13 tahun 2003 merupakan undang-undang yang tidak memiliki naskah akademik. Penulisan naskah akademik memang tidak memepengaruhi terhadap isi dari suatu undang-undang, namun naskah akademik suatu undang-undang merupakan sebuah pertanggungjawaban dan landasan teoritis dibuatnya suatu peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, pembuatan undang-undang ketenagakerjaan sudah tidak memperhatikan tentang pertanggungjawaban terhadap isi dari peraturan perundang-undangan tersebut.

Sistem kerja kontrak juga merupakan salah satu polemik yang dihadapi kaum pekerja. Sistem kerja kontrak ini sering disebut juga sistem Outsourching. Terhadap sistem kerja outsourching masih terdapat berbagai permasalahan sehingga menyebabkan tidak seimbangnya penghasilan dan tenaga yang dikeluarkan oleh buruh. Misalnya saja panundaan pembayaran upah yang merupakan salah satu masalah utama yang terjadi dalam sistem kerja outsourching. Penundaan pembayaran kerja yang berlarut-larut kemudian akan menjadikan buruh sebagai mesin produksi saja tanpa memanusiakannya. Oleh karena itu, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011  pada tanggal 17 Januari 2012,mengenai permohonan  pengujian Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang terkait dengan PKWT dan outsourcing (pasal 59, 64, 65 dan 66), sistem kerja outsourching dinilai sudah melanggar konstitusi. Namun, penerbitan putusan tersebut tidak akan berjalan jika tidak ada tindakan yang dilakukan terhadap sistem outsourcing yang masih berjalan di beberapa perusahaan.


Negara juga wajib melindungi hak buruh karena buruh merupakan salah satu unsur dari rakyat dan rakyat merupakan unsur yang mutlak datri suatu negara. Perlindungan hak dapat dilakukan dengan membuat peraturan perundang-undangan yang serasi dari sudut pandang buruh dan pengusaha. Tanpa adanya perlindungan terhadap buruh, negara telah dianggap telah melakukan pelanggaran terhadap konstitusi. Dengan kata lain, perlindungan terhadap rakyat haruslah dilakukan oleh negara jika negara juga ingin merasa dilindungi oleh rakyatnya. Pembangunan tidak akan berjalan lancar ketika tidak ada pihak yang berhati besar.

Buruh bersatu tak bisa dikalahkan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar