Kamis, 19 Desember 2013

ternyata ini semua datangnya dari ibu. waktu ibu dirawat di rumah sakit kemarin saya liat dia ngebaca lagi Bumi Manusia-nya om Pram. dan ternyata buku itu ada di tasnya selama ini

Kamis, 12 Desember 2013

Kasihan. Di doanya, di setiap akhir ia menyentuhkan keningnya ke tanah selalu ada sebuah kata tersirat. Selamat. Ia tau arti kata itu. Itu adalah kata-kata yang selalu ia ucapkan setelah ia bertemu Gusti. Ia tidak pernah absen bercerita kepada Gusti. Kebiasaannya, setiap hari ia selalu menceritakan apa yang ia alami hari itu kepada Gusti. 

Hari ini hujan. Mendung tetap menyelimuti kota dengan sombongnya. Ia mulai turun dari ranjangnya dan tidak menyadari apa yang terjadi semalam. Angin tetap berhembus. Pelan. Disela-sela ventilasi kamar terlihat beberapa ekor semut sedang mengangkat makanannya. Bantalnya berserakan di sebelah kiri dan segelas air putih yang sudah terminum sedikit masih ada di meja sebelah ranjangnya. Kepalanya terasa sedikit pusing. Sekarang sudah bulan Desember. Hanya ada satu kata dipikirannya; Hujan.

Ayahnya sering menceritakan legenda hujan kepadanya. Dari mana hujan berasal dan kemana hujan kembali. Pernah ia bertanya kepada ayahnya, mengapa ayahnya begitu tergila-gila kepada hujan. Dengan tenang dan tatapan teduh, ayahnya menjelaskan bahwa ia sangat percaya bahwa hujan adalah sumber dari kehidupan. 

“kau akan mengenal kehidupan ketika kau mengenal hujan kelak, nak”, jelas ayahnya.

“dari hujan kau akan belajar bagaimana kau turun kebawah dan memberikan kesuburan dibawah. Hujan tidak pernah tau kapan ia naik, tetapi naiknya hujan keatas langit adalah sebuah kepastian. Dan turunnya juga sebuah kepastian. Kau akan bahagia ketika kau bisa turun kebawah dan bisa memberikan kesuburan dan kemakmuran disana. Dan kau, pasti akan naik keatas tapi jangan pernah pedulikan kapan itu akan terjadi, karena kau pasti.. pasti akan keatas nanti.” Sambung ayahnya.

Sejak saat itu ia percaya kalau setiap kali hujan, ia harus keluar rumah. Menikmati ketulusan tetesan air dan lembutnya hembusan angin barat. Namun, kali ini ia tidak bersemangat menikmati hujan. Bahkan hanya menikmati secangkir kopi hitam pekat dan segenggam biji kapri pun ia tidak semangat. Bukan karena hujan kali ini, namun karena ada satu hal yang mengganggunya. Satu hal yang hilang dan ia rasa tidak akan pernah kembali.

Ia mengambil gelas yang berisi air di mejanya. Ditenggaknya satu kali. Hujan masih tidak berhenti. Rintiknya turun semakin deras dan tetap menjadi. Setelah ia meletakkan lagi gelas ke atas mejanya, pikirannya semakin membumbung tinggi. Otaknya secara otomatis mengingat dua orang sosok. Sosok yang sangat ia rindukan keberadaannya sekarang. Sosok yang keduanya sangat mencintai hujan. Ayahnya dan Gusti.

Ia mengambil lagi buku catatan yang biasa ia bawa. Ia menyimpan buku tersebut di rak tengah mejanya. Buku itu bersampul cokelat. Ditariknya buku tersebut dari tengah rak. Agak susah ia menariknya. Ketika buku catatan sudah digenggamannya ia gemetar. Seakan ada yang menggetarkan tangannya dari buku tersebut. kemudian ia cepat cepat menyadarkan lamunannya. Ia tahu kenapa ia sangat takut memegang buku tersebut. buku catatan tersebut adalah salah satu hal yang dapat mengingatkannya kepada kedua orang tersebut, juga kepada hujan yang telah mereka lewati bersama. Ia hanya bisa menulis. Di buku catatan yang tadinya kosong, ia bisa menumpahkan segala cerita tentang hujan, Gusti, dan Ayahnya.