Kamis, 31 Oktober 2013

koit

tidak tepat di sebelah mendiang istrinya, ibu dari ayahku, nenek ku.

Kadang kala kita membutuhkan suatu pengingat untuk diri sendiri. Batu yang terukir nama diri sendiri di depan gedung yang mewah, di dalam sebuah kaca bening yang setiap hari dibersihkan oleh petugas outsource, atau di tembok sebuah tempat ibadah terbesar di Asia Tenggara mungkin menyimpan sebuah nilai kebanggaan bagi penggoresnya. Setiap orang berlomba-lomba menduduki jabatan struktural dengan mengangkangi norma agar dapat menggoreskan tanda dari sebuah tangan di suatu bangunan, gedung, atau tempat ibadah atau tempat apalah yang kalian anggap indah. Namun apakah kebanggaan tersebut masih berpengaruh saat nama mu ditulis di sebuah batu berukuran 60x30 cm yang dipesan di pemahat prasasti pinggir jalan? Bagaimana kalau kau mati?

Kadang juga dalam keramaian, seseorang tidak akan pernah berfikir jernih. Keramaian mengganggu pikiran, begitu kata orang-orang hebat jaman dahulu. Hingga pada akhirnya dibutuhkan kesepian sehingga manusia dapat berpikir jernih. Kekuatan pikiran baru dapat digunakan ketika seseorang berkontemplasi sendiri tanpa ada yang mengganggu. Dan mati itu sepertinya... sepi. Apakah manusia harus mati dulu agar ia dapat berfikir jernih? Atau berfikir jernih dulu untuk mempersiapkan mati?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar