Selasa, 19 Februari 2013

Lokananta, Ziarah Musik Indonesia



Perjalanan dimulai ketika saya menginjakkan kaki di stasiun solo balapan. Panasnya cuaca di solo tidak lantas menghentikan niat saya untuk berjalan ke Lokananta. Pencarian awal adalah dengan menggunakan GPS di handphone canggih masa kini untuk bisa menemukan Museum tersebut. Ketika saya keluar dari Stasiun Solo Balapan, banyak penarik becak dan ojek yang menawarkan tumpangan untuk saya (tentunya tumpangan yang berbayar), namun karena tekad saya adalah bahwa perjalanan ke solo ini akan dihabiskan dengan jalan kaki, maka saya mengindahkan tawaran mereka. saya memang masih sangat buta dengan kota solo. Bahkan saya pun tidak tahu dimana saya ketika baru tiba di stasiun Solo Balapan. Kesalahan pertama yang saya buat adalah bahwa seharusnya saya turun di stasiun Purwosari, bukan Stasiun Solo Balapan karena letak studio Lokananta lebih dekat ditempuh dari stasiun Purwosari. Hanya dibutuhkan waktu sekitar 15 menit berjalan kaki dari Stasiun Purwosari atau sekitar 1 kilometer jaraknya dari Stasun tersebut. Sedangkan jika berjalan dari Stasiun Solo Balapan, jarak yang ditempuh bisa sampai 4 kilometer jauhnya atau memakan waktu sekitar 1,5 sampai 2 jam. Bayangkan, mungkin beberapa jauh lagi saya berjalan, betis saya akan berubah menjadi tabung gas 12 kilo.

Banyak informasi yang mengatakan kalau studio Lokananta terletak di Jalan Jendral A. Yani no. 39. Ya, selamat! Anda telah tertipu mentah mentah. Memang , letak dari Studio tersebut adalah di Jalan Jendral A. Yani tetapi bukan di nomor 379, bukan 39. Jauh bukan? Bahkan dari kesimpang siuran nomor tersebutlah yang menyebabkan saya harus berjalan kaki sejauh 4 kilometer ditengah teriknya matahari kota solo. Karena ketidaktahuan ditambah kesoktauan saya tentang kota solo, baiklah saya memilih untuk berjalan terus. Tapi sialnya, saya malah memilih jalan yang salah. Bukannya melewati jalan di dalam kota, saya malah memilih lewat jalan di pinggir kota yang (sepertinya) saya anggap itu sebagai jalan lingkar luar kota solo. Oke, saya salah lagi. Berjalan di pinggir kota solo memang panas, tapi pemandangan yang ditawarkan cukup memanjakan mata untuk terus menatap ke sekeliling. Oh iya, saya juga sempat melewati pasar burung dan pasar ikan, mampir sebentar, ngobrol sebentar, dan jatuh cinta sebentar :’) Perjalanan dari pasar burung menuju studio Lokananta masih harus ditempuh selama kurang lebih 30 menit. Sampai pada akhirnya saya tiba di depan studio terbesar yang sempat berjaya pada masanya.

Tiba di Studio Lokananta, saya langsung disambut bangunan tua yang seakan ingin banyak bercerita tentang masa-masa jayanya di tahun 1960-an. Bangunan itu tetap berdiri kokoh walaupun sudah dimakan jaman. Ada sedikit renovasi yang dilakukan oleh pengelola gedung walaupun tidak begitu terlihat. Sebagai informasi, bangunan studio yang juga berada dibawah naungan PNRI (Percetakan Nasional Republik Indonesia) sempat terkena angin puting beliung sekitar lima tahun yang lalu. Namun, orisinalitas gedung ini tetap terjaga dengan warna kuning yang hampir pudar dipadu dengan batuan-batuan kecil yang ditempel ala arsitektur belanda (ketauan nih saya bukan anak arsi). Sampai di depan Studio Lokananta, saya lalu menuju pos penjagaan. Dan ternyata ada lagi kesalahan yang saya buat. Hari sabtu dan minggu adalah hari libur untuk Studio ini. saya yang diberitahu Pak Agus –penjaga kantor- bahwa hari sabtu dan minggu sudah tidak ada karyawan yang masuk kemudian memasang muka melas (padahal mukanya udah begini nih dari dulu, melas). Lima menit berbicara sebentar dengan Pak Agus, Akhirnya beliau memutuskan untuk mengantar saya berkeliling Studio Lokananta, dalam hati saya, akhirnya muka melas ini berguna juga.

Berjalan kedalam studio, di ruang pertama kita akan menemukan kata-kata sambutan dari studio lokananta. Di ruangan tersebut yang sepertinya juga sebagai ruang tunggu, hanya berisi sebagian pajangan pita-pita rekaman yang dahulu digunakan untuk merekam lagu yang diproduksi oleh musisi-musisi ciamik pada jamannya. pita master rekaman tersebut diletakkan di tembok yang bersebelahan dengan denah Studio Lokananta. Kemudian saya masuk menuju ruang museum.


Di ruang museum yang tidak terlalu besar, saya disuguhkan oleh berbagai macam “artefak” yang tentu saja masih dirawat dan masih bisa digunakan, walaupun ada beberapa benda di museum tersebut sudah dalam kondisi tidak dapat digunakan. Mulai dari pattern generator, pemutar piringan hitam tahun 1970, hingga speaker control tahun 1960 yang masih dalam kondisi baik terletak di museum. Semua barang-barang tersebut dirawat sehingga masih memiliki kualitas baik untuk dapat dijalankan sesuai fungsinya. Kekaguman saya muncul ketika melihat VHS Video Recorder beserta kaset-kaset recorder yang ada di dalam ruangan tersebut. Ternyata kaset-kaset VHS yang berisi tentang video-video kebudayaan di indonesia berasal dari Studio Lokananta. Setelah menikmati beberapa saat, kemudian saya diajak oleh pak Agus untuk menuju ruang penyimpanan piringan hitam.


Ruangan penyimpanan piringan hitam berada tepat di sebelah ruangan museum yang menyimpan mesin-mesin perekaman tadi. Begitu masuk ke ruangan penyimpanan piringan hitam, satu-satunya kata yang saya ucapkan adalah.. “anjiiing!!!”. Itu adalah satu-satunya kata yang saya ucapkan dan pak Agus hanya cengangas cengenges. Ruang penyimpanan di Studio Lokananta menyimpan ratusan keping piringan hitam. Dan semuanya adalah musik musik yang sangat berkualitas. Mulai dari lagu-lagu daerah, hingga lagu-lagu pop 60an tersimpan disana. Siapa yang tidak kenal Waljinah? Siapa juga yang tidak kenal Zaenal Combo atau Combo Ria? Semua piringan hitam hasil rekaman mereka tersimpan rapih di Studio Lokananta dan berdampingan dengan musik-musik berkualitas lainnya. Selain itu, di dalam ruangan ini juga menyimpan rekaman-rekaman suarau Bung Karno saat memberikan pidato di berbagai tempat. Rekaman pidato tersebut juga merupakan salah satu koleksi “anjing!” menurut saya. Sepertinya hanya Studio Lokananta yang menyimpan rekaman pidato-pidato bung karno dengan suara khasnya. Pada dasarnya, ruang penyimpanan tersebut adalah surga bagi para pencinta piringan-piringan hitam. Setelah saya puas melihat koleksi-koleksi ciamik yang terdapat disana, setelah saya keringetan juga berada di dalam ruangan penyimpanan Piringan Hitam, akhirnya saya dan Pak Agus keluar untuk berkeliling lagi menuju ruangan merchandise yang berisi cd hasil digitalisasi sebagian piringan-piringan hitam yang terdapat di ruang peyimpanan Piringan Hitam. Setelah sedikit tur di ruangan tersebut, akhirnya kami keluar dan lebih banyak bertukar pikiran di pos satpam karena kondisi udara yang lebih segar dan sejuk.


Sebenarnya saya sedikit miris ketika melihat Studio Lokananta sekarang. Studio ini pernah jaya di eranya. Dahulu, kata Pak Agus, pegawai di Studio Lokananta bisa mencapai 120an orang terbukti dengan adanya lonceng yang terletak di sebelah gedung tersebut. Kondisi tanah yang luas juga dapat menggambarkan bahwa betapa hebatnya Studio ini pada jamannya. Namun, keadaan tersebut berbanding terbalik sekarang. Pegawai di Studio Lokananta sekarang hanya berjumlah 19 orang, termasuk satpam yang berjumlah 3 orang. Artinya, hanya 16 orang saja yang berkantor disana. Terjadinya kemerosotan jumlah pegawai juga merupakan salah satu kendala perawatan alat-alat rekaman yang terdapat di Studio Lokananta. Pak Agus juga sempat bercerita bahwa dahulu, Studio Lokananta juga memproduksi piringan-piringan hitam yang alatnya berada ditengah gedung Studio. Namun, seiring berjalannya waktu, alat tersebut tidak diketahui keberadaannya sehingga Studio Lokananta juga tidak memproduksi piringan-piringan hitam lagi.

Kemirisan juga terlihat ketika memasuki ruangan penyimpanan Piringan Hitam. Ruangan ber-AC adalah salah satu standar di dalam penyimpanan piringan-piringan hitam agar kualitasnya dapat terjaga. Namun, di ruang penyimpanan Piringan Hitam Tersebut tidak terdapat mesin pendingin ruangan untuk menjaga suhu disana. Ruangan yang panas dikhawatirkan dapat merusak kualitas Piringan Hitam dan dapat merusak bungkus dari Piringan Hitam tersebut. Usaha yang dilakukan oleh pihak pengelola Studio adalah dengan cara memberikan bubuk kopi dan kapur barus untuk menjaga kondisi ruangan. Kopi dimaksudkan untuk menjaga agar ruangan tidak berbau lembab dan tetap berbau netral, sedangkan penyediaan kapur barus bermaksud untuk menjaga agar ruangan terjaga dari kutu. Ketika berbicara mengenai hal tersebut, satu-satunya kendala yang dihadapi oleh pihak pengelola adalah masalah biaya. Ketidaktersediaannya biaya mengakibatkan kondisi di dalam Studio Lokananta menjadi biasa-biasa saja bahkan dapat dibilang kurang. Dengan kondisi keberadaannya yang dibawah BUMN yaitu PNRI, seharusnya Studio Lokananta mendapatkan suatu perhatian penuh dari pemerintah khususnya pemerintah pusat. Menururt penuturan Pak Agus, sampai sekarng, pemerintah pusat tidak pernah memberikan perhatian bahkan bantuan secara finansial kepada Studio Lokananta. Padahal, pemerintah kota Surakarta sempat manawarkan diri untuk mengambil alih kepemilikan dari pusat menjadi kepemilikan daerah. Namun, dengan berbagai alasan yang diberikan oleh pemerintah pusat, studio ini tidak dapat dialihkan tanggungjawabnya ke pemerintah kota Surakarta. Memang terdapat suatu kejanggalan ketika mendengar cerita yang dituturkan oleh Pak Agus, namun memang begitu lah realita yang terjadi sekarang. Pak Agus sempat bercerita kepada saya bahwa para pegawai di Studio Lokananta juga harus mati-matian mencari sampingan untuk tetap dapat menghidupi dirinya. Salah satu caranya adalah dengan cara menjual hasil digitalisasi Piringan Hitam kedalam format CD yang dapat dibeli di Studio tersebut.


Selain dapat menghasilkan karya yang dapat menunjang perekonomian kreatif, Studio Lokananta juga merupakan salah satu peninggalah sejarah yang tidak boleh dilupakan apalagi dihapuskan. Keberadaan Studio Lokananta yang merupakan satu-satunya studio tertua yang melahirkan rekaman musisi-musisi Indonesia ternama merupakan salah satu alasan mengapa keberadaan Studio Lokananta harus dipertahankan. Untuk itu kawan, mari sebar luaskan pesan ini, pesan yang bertujuan menyelamatkan sejarah musik Indonesia, Save Lokananta.

1 komentar:

  1. salam kenal........! berati lokananta bisa dikunjungi untuk umum....ya ? saya pingin membeli lagu-lagu yang tak mungkin lagi dijual dipasaran.....!

    BalasHapus