Perjalanan dimulai ketika saya menginjakkan kaki di stasiun
solo balapan. Panasnya cuaca di solo tidak lantas menghentikan niat saya untuk
berjalan ke Lokananta. Pencarian awal adalah dengan menggunakan GPS di
handphone canggih masa kini untuk bisa menemukan Museum tersebut. Ketika saya
keluar dari Stasiun Solo Balapan, banyak penarik becak dan ojek yang menawarkan
tumpangan untuk saya (tentunya tumpangan yang berbayar), namun karena tekad
saya adalah bahwa perjalanan ke solo ini akan dihabiskan dengan jalan kaki,
maka saya mengindahkan tawaran mereka. saya memang masih sangat buta dengan
kota solo. Bahkan saya pun tidak tahu dimana saya ketika baru tiba di stasiun
Solo Balapan. Kesalahan pertama yang saya buat adalah bahwa seharusnya saya
turun di stasiun Purwosari, bukan Stasiun Solo Balapan karena letak studio
Lokananta lebih dekat ditempuh dari stasiun Purwosari. Hanya dibutuhkan waktu
sekitar 15 menit berjalan kaki dari Stasiun Purwosari atau sekitar 1 kilometer
jaraknya dari Stasun tersebut. Sedangkan jika berjalan dari Stasiun Solo
Balapan, jarak yang ditempuh bisa sampai 4 kilometer jauhnya atau memakan waktu
sekitar 1,5 sampai 2 jam. Bayangkan, mungkin beberapa jauh lagi saya berjalan,
betis saya akan berubah menjadi tabung gas 12 kilo.
Banyak informasi yang mengatakan kalau studio Lokananta
terletak di Jalan Jendral A. Yani no. 39. Ya, selamat! Anda telah tertipu
mentah mentah. Memang , letak dari Studio tersebut adalah di Jalan Jendral A.
Yani tetapi bukan di nomor 379, bukan 39. Jauh bukan? Bahkan dari kesimpang
siuran nomor tersebutlah yang menyebabkan saya harus berjalan kaki sejauh 4
kilometer ditengah teriknya matahari kota solo. Karena ketidaktahuan ditambah
kesoktauan saya tentang kota solo, baiklah saya memilih untuk berjalan terus. Tapi
sialnya, saya malah memilih jalan yang salah. Bukannya melewati jalan di dalam
kota, saya malah memilih lewat jalan di pinggir kota yang (sepertinya) saya anggap
itu sebagai jalan lingkar luar kota solo. Oke, saya salah lagi. Berjalan di
pinggir kota solo memang panas, tapi pemandangan yang ditawarkan cukup
memanjakan mata untuk terus menatap ke sekeliling. Oh iya, saya juga sempat
melewati pasar burung dan pasar ikan, mampir sebentar, ngobrol sebentar, dan jatuh
cinta sebentar :’) Perjalanan dari pasar burung menuju studio Lokananta masih
harus ditempuh selama kurang lebih 30 menit. Sampai pada akhirnya saya tiba di
depan studio terbesar yang sempat berjaya pada masanya.
Tiba di Studio Lokananta, saya langsung disambut bangunan
tua yang seakan ingin banyak bercerita tentang masa-masa jayanya di tahun
1960-an. Bangunan itu tetap berdiri kokoh walaupun sudah dimakan jaman. Ada sedikit
renovasi yang dilakukan oleh pengelola gedung walaupun tidak begitu terlihat. Sebagai
informasi, bangunan studio yang juga berada dibawah naungan PNRI (Percetakan
Nasional Republik Indonesia) sempat terkena angin puting beliung sekitar lima
tahun yang lalu. Namun, orisinalitas gedung ini tetap terjaga dengan warna
kuning yang hampir pudar dipadu dengan batuan-batuan kecil yang ditempel ala
arsitektur belanda (ketauan nih saya bukan anak arsi). Sampai di depan Studio
Lokananta, saya lalu menuju pos penjagaan. Dan ternyata ada lagi kesalahan yang
saya buat. Hari sabtu dan minggu adalah hari libur untuk Studio ini. saya yang
diberitahu Pak Agus –penjaga kantor- bahwa hari sabtu dan minggu sudah tidak
ada karyawan yang masuk kemudian memasang muka melas (padahal mukanya udah
begini nih dari dulu, melas). Lima menit berbicara sebentar dengan Pak Agus,
Akhirnya beliau memutuskan untuk mengantar saya berkeliling Studio Lokananta,
dalam hati saya, akhirnya muka melas ini berguna juga.
Berjalan kedalam studio, di ruang pertama kita akan
menemukan kata-kata sambutan dari studio lokananta. Di ruangan tersebut yang
sepertinya juga sebagai ruang tunggu, hanya berisi sebagian pajangan pita-pita
rekaman yang dahulu digunakan untuk merekam lagu yang diproduksi oleh musisi-musisi
ciamik pada jamannya. pita master rekaman tersebut diletakkan di tembok yang
bersebelahan dengan denah Studio Lokananta. Kemudian saya masuk menuju ruang
museum.
Di ruang museum yang tidak terlalu besar, saya disuguhkan
oleh berbagai macam “artefak” yang tentu saja masih dirawat dan masih bisa
digunakan, walaupun ada beberapa benda di museum tersebut sudah dalam kondisi
tidak dapat digunakan. Mulai dari pattern generator, pemutar piringan hitam
tahun 1970, hingga speaker control tahun 1960 yang masih dalam kondisi baik
terletak di museum. Semua barang-barang tersebut dirawat sehingga masih
memiliki kualitas baik untuk dapat dijalankan sesuai fungsinya. Kekaguman saya
muncul ketika melihat VHS Video Recorder beserta kaset-kaset recorder yang ada
di dalam ruangan tersebut. Ternyata kaset-kaset VHS yang berisi tentang
video-video kebudayaan di indonesia berasal dari Studio Lokananta. Setelah menikmati
beberapa saat, kemudian saya diajak oleh pak Agus untuk menuju ruang
penyimpanan piringan hitam.
Ruangan penyimpanan piringan hitam berada tepat di sebelah
ruangan museum yang menyimpan mesin-mesin perekaman tadi. Begitu masuk ke
ruangan penyimpanan piringan hitam, satu-satunya kata yang saya ucapkan
adalah.. “anjiiing!!!”. Itu adalah satu-satunya kata yang saya ucapkan dan pak
Agus hanya cengangas cengenges. Ruang penyimpanan di Studio Lokananta menyimpan
ratusan keping piringan hitam. Dan semuanya adalah musik musik yang sangat
berkualitas. Mulai dari lagu-lagu daerah, hingga lagu-lagu pop 60an tersimpan
disana. Siapa yang tidak kenal Waljinah? Siapa juga yang tidak kenal Zaenal
Combo atau Combo Ria? Semua piringan hitam hasil rekaman mereka tersimpan rapih
di Studio Lokananta dan berdampingan dengan musik-musik berkualitas lainnya. Selain
itu, di dalam ruangan ini juga menyimpan rekaman-rekaman suarau Bung Karno saat
memberikan pidato di berbagai tempat. Rekaman pidato tersebut juga merupakan
salah satu koleksi “anjing!” menurut saya. Sepertinya hanya Studio Lokananta
yang menyimpan rekaman pidato-pidato bung karno dengan suara khasnya. Pada dasarnya,
ruang penyimpanan tersebut adalah surga bagi para pencinta piringan-piringan
hitam. Setelah saya puas melihat koleksi-koleksi ciamik yang terdapat disana,
setelah saya keringetan juga berada di dalam ruangan penyimpanan Piringan
Hitam, akhirnya saya dan Pak Agus keluar untuk berkeliling lagi menuju ruangan
merchandise yang berisi cd hasil digitalisasi sebagian piringan-piringan hitam
yang terdapat di ruang peyimpanan Piringan Hitam. Setelah sedikit tur di
ruangan tersebut, akhirnya kami keluar dan lebih banyak bertukar pikiran di pos
satpam karena kondisi udara yang lebih segar dan sejuk.
Sebenarnya saya sedikit miris ketika melihat Studio
Lokananta sekarang. Studio ini pernah jaya di eranya. Dahulu, kata Pak Agus, pegawai di
Studio Lokananta bisa mencapai 120an orang terbukti dengan adanya lonceng yang
terletak di sebelah gedung tersebut. Kondisi tanah yang luas juga dapat
menggambarkan bahwa betapa hebatnya Studio ini pada jamannya. Namun, keadaan
tersebut berbanding terbalik sekarang. Pegawai di Studio Lokananta sekarang
hanya berjumlah 19 orang, termasuk satpam yang berjumlah 3 orang. Artinya,
hanya 16 orang saja yang berkantor disana. Terjadinya kemerosotan jumlah
pegawai juga merupakan salah satu kendala perawatan alat-alat rekaman yang
terdapat di Studio Lokananta. Pak Agus juga sempat bercerita bahwa dahulu,
Studio Lokananta juga memproduksi piringan-piringan hitam yang alatnya berada
ditengah gedung Studio. Namun, seiring berjalannya waktu, alat tersebut tidak
diketahui keberadaannya sehingga Studio Lokananta juga tidak memproduksi
piringan-piringan hitam lagi.
Kemirisan juga terlihat ketika memasuki ruangan penyimpanan
Piringan Hitam. Ruangan ber-AC adalah salah satu standar di dalam penyimpanan
piringan-piringan hitam agar kualitasnya dapat terjaga. Namun, di ruang
penyimpanan Piringan Hitam Tersebut tidak terdapat mesin pendingin ruangan
untuk menjaga suhu disana. Ruangan yang panas dikhawatirkan dapat merusak
kualitas Piringan Hitam dan dapat merusak bungkus dari Piringan Hitam tersebut.
Usaha yang dilakukan oleh pihak pengelola Studio adalah dengan cara memberikan
bubuk kopi dan kapur barus untuk menjaga kondisi ruangan. Kopi dimaksudkan
untuk menjaga agar ruangan tidak berbau lembab dan tetap berbau netral,
sedangkan penyediaan kapur barus bermaksud untuk menjaga agar ruangan terjaga
dari kutu. Ketika berbicara mengenai hal tersebut, satu-satunya kendala yang
dihadapi oleh pihak pengelola adalah masalah biaya. Ketidaktersediaannya biaya
mengakibatkan kondisi di dalam Studio Lokananta menjadi biasa-biasa saja bahkan
dapat dibilang kurang. Dengan kondisi keberadaannya yang dibawah BUMN yaitu
PNRI, seharusnya Studio Lokananta mendapatkan suatu perhatian penuh dari
pemerintah khususnya pemerintah pusat. Menururt penuturan Pak Agus, sampai
sekarng, pemerintah pusat tidak pernah memberikan perhatian bahkan bantuan
secara finansial kepada Studio Lokananta. Padahal, pemerintah kota Surakarta
sempat manawarkan diri untuk mengambil alih kepemilikan dari pusat menjadi
kepemilikan daerah. Namun, dengan berbagai alasan yang diberikan oleh
pemerintah pusat, studio ini tidak dapat dialihkan tanggungjawabnya ke pemerintah
kota Surakarta. Memang terdapat suatu kejanggalan ketika mendengar cerita yang
dituturkan oleh Pak Agus, namun memang begitu lah realita yang terjadi
sekarang. Pak Agus sempat bercerita kepada saya bahwa para pegawai di Studio
Lokananta juga harus mati-matian mencari sampingan untuk tetap dapat menghidupi
dirinya. Salah satu caranya adalah dengan cara menjual hasil digitalisasi
Piringan Hitam kedalam format CD yang dapat dibeli di Studio tersebut.
Selain dapat menghasilkan karya yang dapat menunjang
perekonomian kreatif, Studio Lokananta juga merupakan salah satu peninggalah
sejarah yang tidak boleh dilupakan apalagi dihapuskan. Keberadaan Studio Lokananta
yang merupakan satu-satunya studio tertua yang melahirkan rekaman musisi-musisi
Indonesia ternama merupakan salah satu alasan mengapa keberadaan Studio
Lokananta harus dipertahankan. Untuk itu kawan, mari sebar luaskan pesan ini,
pesan yang bertujuan menyelamatkan sejarah musik Indonesia, Save Lokananta.